7) Hadits Syadz
Secara
bahasa, hadits ini berarti hadits ayng ganjil. Batasan yang diberikan
para ulama, hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang
dipercaya, tapi hadits itu berlainan dengan hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga dipercaya. Haditsnya
mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang kuat.
Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.
III.3 Kehujahan Hadits dhaif
Khusus
hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh
Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan,
dengan beberapa syarat:
- Level Kedhaifannya Tidak Parah
Ternyata
yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan banyak
jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau
hasan.
Maka menurut para ulama, masih ada di antara
hadits dhaif yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara
aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadits yang level kedhaifannya
tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara fadahilul a’mal
(keutamaan amal).
- Berada di bawah Nash Lain yang Shahih
Maksudnya
hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul
a’mal, harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits lainnya
itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia
harus berada di bawah nash yang sudah shahih.
- Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya
Maksudnya,
ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini
100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau.
Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian
datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.
- Sikap Ulama Terhadap Hadits Dhaif :
Sebenarnya
kalau kita mau jujur dan objektif, sikap ulama terhadap hadits dhaif
itu sangat beragam. Setidaknya kami mencatat ada tiga kelompok besar
dengan pandangan dan hujjah mereka masing-masing. Dan menariknya, mereka
itu bukan orang sembarangan. Semuanya adalah orang-orang besar dalam
bidang ilmu hadits serta para spesialis.
Maka
posisi kita bukan untuk menyalahkan atau menghina salah satu kelompok
itu. Sebab dibandingkan dengan mereka, kita ini bukan apa-apanya dalam
konstalasi para ulama hadits.
1) Kalangan Yang Menolak Mentah-mentah Hadits Dhaif
Namun
harus kita akui bahwa di sebagian kalangan, ada juga pihak-pihak yang
ngotot tetap tidak mau terima kalau hadits dhaif itu masih bisa
ditolelir.
Bagi mereka hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nasehat atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits dhaif di hati mereka.
Bagi mereka hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nasehat atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits dhaif di hati mereka.
Di
antara mereka terdapat nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu
Bakar Al-Arabi, Yahya bin Mu’in, Ibnu Hazm dan lainnya. Di zaman
sekarang ini, ada tokoh seperti Al-Albani dan para pengikutnya.
2) Kalangan Yang Menerima Semua Hadits Dhaif
Jangan
salah, ternyata ada juga kalangan ulama yang tetap menerima semua
hadits dhaif. Mereka adalah kalangan yang boleh dibilang mau menerima
secara bulat setiap hadits dhaif, asal bukan hadits palsu (maudhu’).
Bagi mereka, sedhai’f-dha’if-nya suatu hadits, tetap saja lebih tinggi
derajatnya dari akal manusia dan logika.
Di
antara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini
antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Mazhab
ini banyak dianut saat ini antara lain di Saudi Arabia. Selain itu juga
ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarok dan yang lainnya.
Al-Imam
As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata, ‘Bila kami meriwayatkan
hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan
masalah fadhilah dan sejenisnya, kami longgarkan.”
3) Kalangan Menengah
Mereka
adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari hadits yang
terbilang dhaif dengan syarat-syarat tertentu. Mereka adalah kebanyakan
ulama, para imam mazhab yang empat serta para ulama salaf dan khalaf.
Syarat-syarat
yang mereka ajukan untuk menerima hadits dhaif antara lain, sebagaimana
diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam An-Nawawi
rahimahumalah, adalah:
•
Hadits dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan hadits
dha’if yang perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai
pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima.
• Hadits itu punya asal yang menaungi di bawahnya
•
Hadits itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran
amal tambahan. Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan
masalah hukum.
• Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati.
Semua
keterangan di atas, jelas bukan pendapat kami. Semua itu adalah
pendapat para ulama pakar ilmu hadits. Kami ini bukan berada dalam
posisi untuk mengkritisi salah satunya. Sebab beda maqam dan beda
posisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar