Rabu, 17 April 2013

kaidah qiroah Al-Qur'an versi imam Ashim bin Najuud

Pada postingan sebelumnya , kami paparkan sedikit perkenalan tentang Imam Ashim bin Najuud , yakni imam qiroah kuffiyun yang kaidah - kaidah bacaannya termasyhur diantara qiroah imam lainnya , tidak ada salahnya,kali ini kami posting kaidah ghorib versi imam Ashim bin Najuud , mohon koreksi para pembaca , jika terdapat kesalahan .

Istilah gharib terambil dari bahasa Arab, menurut Ibrahim Musthafa (tt: 647/2) ia merupakan isim sifat dari kata “gharaba – yaghribu” yang artinya ghamudla (sulit) dan khafiya (samar). Dalam literature Arab, istilah gharib al-Qiraat tidak popular dalam peristilahan ilmu qiraat dan tidak pernah dipakai dalam tulisan para pakar ilmu qiraat. Istilah ini banyak dipakai dalam buku-buku tajwid di Indonesia. Misalnya, metode “qira’ati” memasukkan bahasan gharib al-qiraah tersebut pada jilid 6. Istilah tersebut dimaksudkan sebagai bacaan yang jumlahnya terbatas dan orang awam jarang memahami dan mengenal bacaan tersebut. Adakalanya istilah ini dimaknai sebagai bacaan-bacaan al-Quran yang mana antara tulisan dan cara bacanya sedikit berbeda. Adapun bacaan-bacaan yang dianggap gharib adalah imalah, tashil, isymam, naql, badal, saktah, shilah.

1. Saktah
Secara bahasa kata “saktah” berasal dari bahasa Arab: سكت – يسكت – سكوتا yang berarti diam; tidak bergerak. Adapun dalam istilah ilmu qiraat, saktah adalah memutus kata sambil menahan nafas dengan niat meneruskan bacaan (M. Makky Nasr, tt:153). Dalam qira’ah sab’ah bacaan saktah banyak dijumpai pada bacaannya Imam Hamzah (baik dari riwayat khalaf maupun khalaf), yaitu setiap ada hamzah qatha’ yang didahului tanwin atau al ta’rif, seperti بالآخرة، عذاب أليم (Arwani Amin, tt:3-6).
Sedangkan dalam bacaan Imam Ashim riwayat Hafs; di al-Qur’an bacaan saktah hanya ada di empat tempat, yaitu:
a. Surat al-Kahfi ayat 1 :
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا ( 1) قَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا (2)
1. Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al kitab (Al-Quran) dan Dia tidak Mengadakan kebengkokan di dalamnya;
2. (Sebagai bimbingan) yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik,

b. Surat Yasin ayat 52 :
قَالُوا يَا وَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُونَ
Mereka berkata: “Aduhai celakalah kami! siapakah yang membangkitkan Kami dari tempat-tidur Kami (kubur)?”. Inilah yang dijanjikan (tuhan) yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul- rasul(Nya).

c. Surat al-Qiyamah 27 :
كَلَّا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ (26) وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ (27)
26. Sekali-kali jangan. apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan, 27. Dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang dapat menyembuhkan?”,

d. Surat al-Muthaffifin 14 :
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.

Pada saktah (1), alasan linguistiknya adalah bahwa susunan kalimat pada surat Al-Kahfi ayat 1 sudah sempurna. Dengan kata lain, apabila seorang qari mewaqafkan bacaan pada kata عوجا, maka ia sudah berhenti pada waqaf tamm (sempurna). Namun setelah melihat kalimat setelahnya itu ternyata terdapat kata قيّما , kalimatnya menjadi rancu. Kata قيّما bukan sifat/naat dari kata عوجا , melainkan jadi hal atau maf’ul bih, sehingga jelas tidak tepat bila kalimat tersebut diterjemahkan: “Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang bengkok serta lurus”. Mestinya terjemahannya adalah: “Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang bengkok, melainkan menjadikannya sebagai ajaran yang lurus. Terjemahan tersebut sesuai dengan analisis sintaksis dan analisis I’rab oleh Ad-Darwisy.
Menurut Ad-Darwisy (2002:530/V) kata قيّما dinashabkan sebagai hal (penjelas) dari kalimat وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا , sedang Az-Zamakhsyari berpendapat bahwa kata tersebut dinashabkan lantaran menyimpan fi’il berupa ” جعله “. Berbeda juga dengan pendapat Abu Hayyan, menurutnya kata قيّما itu badal mufrad dari badal jumlah “وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا “. Tidak mungkin seorang qari’ memulai bacaan (ibtida’) dari قيّما, sebagaimana juga tidak dibenarkan meneruskan bacaan (washal) dari ayat sebelumnya, karena beberapa alasan di atas. Jadi, kalimat di atas baik diwashalkan maupun diwaqafkan sama-sama tidak tepat, sebagai solusi dari keduanya adalah saktah.
Demikian juga halnya pada saktah (2) pada ayat: مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ. Menurut Ad-Darwisy (2002:213/VIII) kata هذا itu mubtada’ dan khabarnya مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ . Berbeda halnya dengan pendapat Az-Zamakhsyari yang menjadikan kata هذا itu sifat dari مرقد, sementara ما sebagai mubtada’ yang khabarnya tersimpan, yaitu kata حق atau هذا. Dari aspek makna, kedua pendapat di atas dapat dipakai. Pertama, orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan dari tempat tidur kami (yang) ini. Apa yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar. Kedua, orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami. Inilah yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar. Dengan membaca saktah, kedua makna yang sama-sama benar tersebut bisa diakomodir, sekaligus juga untuk memisahkan antara ucapan malaikat dan orang kafir. Dijelaskan dalam beberapa tafsir bahwa kata هذا dan seterusnya bukan perkataan orang kafir, melainkan perkataan malaikat atau orang mukmin (As-Shabuni, 1997:16/III).
Sedangkan untuk pada من pada مَنْ – راق dan بل pada بَلْ ران yaitu untuk menekankan fungsi مَنْ sebagai kata tanya dan fungsi بل sebagai kata penegas, juga untuk mempertegas idharnya lam dan nun karena biasanya dua huruf tersebut bila bertemu ra’ diidghamkan sehingga bunyi keduanya hilang (Al-Qaisy, 1987:II/55). Ibnu Zanjalah berpendapat bahwa kata من dan بل itu perlu dipisahkan untuk menghindari idgham, sebab masing-masing merupakan kata terpisah yang memiliki makna tersendiri.
Selain empat tempat di atas, sebetulnya ada dua lagi saktah yang dianjurkan oleh para imam qiraat termasuk Imam Ashim, yaitu:
1. Pertemuan antara surat al-Anfal dan surat at-Taubah:
إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ () بَرَاءَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
2. Pertemuan dua ha’ pada surat al-Haqqah, ayat 28-29:
مَآ أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ () هَّلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ
Saktah pertama, secara linguistik digunakan untuk memilah dua surat yang berbeda meski tidak dipisah dengan basmalah, sementara saktah kedua dimaksudkan untuk membedakan dua ha’, ha’ saktah pada مَالِيَهْ dan ha’ fi’il pada هَّلَكَ.

2. Imalah
Secara bahasa imalah berasal dari kata أمال – يميل – إمالة (الرمح) yang berarti memiringkan atau membengkokkan (tombak), sedangkan secara istilah imalah berarti memiringkan fathah ke arah kasrah atau memiringkan alif ke arah ya’ (Abu Thahir, 311). Bacaan ini banyak ditemui pada bacaan Imam Hamzah dan al-Kisa’i, yaitu di antaranya pada kata yang berakhiran alif layyinah, seperti الضحى، قلى، سجى، هدى. Namun pada riwayat Imam Hafs hanya terdapat pada kata مجراها (QS. Hud:41).
Dan Nuh berkata: “Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya.” Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


Dalam ilmu qira’at, ada bacaan yang menyerupai imalah, yakni taqlil atau baina baina dari qiraat Imam Warsy, terutama pada lafadz yang berwazan فَعلى، فِعلى، فُعلى (Arwani Amin, 18), hanya saja taqlil lebih mendekati fathah seperti bunyi re pada kata mereka.
Bacaan imalah diakui termasuk salah satu dialek bahasa Arab standar (fasih) untuk penduduk Najed dari suku Tamim, Qais dan Asad. Bacaan imalah ini bermanfaat untuk memudahkan pengucapan huruf, karena lidah itu akan terangkat bila membaca fathah dan turun bila membaca imalah dan tentunya turunnya lidah itu lebih ringan dari terangkatnya lidah (Abu Thahir, 1994:312). Juga dengan bacaan imalah, huruf ya’ yang merupakan asal dari alif layyinah tersebut akan tetap tampak ketika dibaca.
Alasan diimalahkannnya kata “majraha” adalah untuk membedakan antara kata “majraha” yang berarti berjalan di daratan dengan kata “majraha” yang berarti berjalan di laut. Menurut kamus kontemporer bahasa Arab “Mu’jam al-lughah al-Arabiyyah al-mu’ashirah, kata “majraha” berasal dari kata “jara” yang artinya berjalan atau mengalir dan kata tersebut bisa digunakan baik berjalan di atas daratan maupun di atas air, hanya saja kecendrungannya perjalanan kendaraan (misalnya kapal laut) di air tidak stabil sebagaimana di darat. Adakalanya dihempas oleh ombak atau terpaan angin besar, sehingga sangat rasional bila kata “majraha” itu diimalahkan.

3. Naql (Menggeser harakat)
Secara bahasa naql berasal dari kata نقل – ينقل – نقلا berarti memindah; menggeser. Adapun secara istilah naql berarti memindahkan harakat ke huruf sebelumnya, sebagaimana yang banyak ditemui pada riwayat Imam Hamzah dan Warsy, yakni setiap ada al ta’rif atau tanwin bertemu hamzah, contoh بالآخرة terbaca بلاخرة dan عذاب أليم terbaca عذابنليم .
Dalam riwayat Hafs bacaan naql hanya ada di satu tempat yaitu pada kata بئس الاسم (QS. al-Hujurat:11).
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.

*Alasan bacaan naql pada kata الاسم yaitu terdapatnya dua hamzah washal (hamzah yang tidak terbaca di tengah kalimat), yakni hamzah pada al ta’rif dan ismu (salah satu dari sepuluh kata benda yang tergolong hamzah washal), yang mengapit “lam” sehingga kedua hamzah tersebut tidak terbaca ketika disambung dengan kata sebelumnya. Di antara manfaat bacaan naql ini adalah untuk memudahkan umat Islam membacanya.

4. Badal/Ibdal (mengganti huruf)
a. Penggantian Hamzah dengan Ya’
Badal/ibdal yang dimaksud di sini adalah إبدال الهمزة الساكنة بالياء (mengganti hamzah sukun dengan ya’. Semua imam qira’at sepakat mengganti hamzah qatha’ –bila tidak disambung dengan kata sebelumnya- yang jatuh setelah hamzah washal dengan ya’ sukun, seperti لقاءنا ائت (QS. Yunus:15), في السموات ائتوني (QS .al-Ahqaf:4). Di bawah ini uraian ayat selengkapnya:
Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain Allah; perlihatkan kepada-Ku Apakah yang telah mereka ciptakan dari bumi ini atau Adakah mereka berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit? bawalah kepada-Ku kitab yang sebelum (Al Quran) ini atau peninggalan dari pengetahuan (orang-orang dahulu), jika kamu adalah orang-orang yang benar” (QS .al-Ahqaf:4)


Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan Pertemuan dengan Kami berkata: “Datangkanlah Al Quran yang lain dari ini[675] atau gantilah dia”. Katakanlah: “Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)”. (QS. Yunus:15)


Adapun bacaan Imam Warsy, al-Susy dan Abu Ja’far, hamzah qatha’ dalam kalimat tersebut diganti ya’ ketika diwashalkan (Al-Qadli, 1981:143).
b. Penggantian Shad dengan Siin
Yakni mengganti shad dengan siin pada kata يبصط (QS. al-Baqarah:245) dan بصطة (QS. al-A’raf:69) untuk selain bacaan Nafi’, al-Bazzi, Ibnu Dzakwan, Syu’bah, Ali Kisa’i, Abu Ja’far dan Khalad. (Al-Qadli, 1981:119) sedangkan pada بمصيطر (QS. al-Ghasyiyah:22) Imam Ashim membaca sebagaimana tulisan mushaf, lain halnya dengan المصيطرون (QS. al-Thur:37) kata ini bisa dibaca dengan mengganti shad dengan siin atau dibaca tetap sebagaimana tulisannya (Al-Qadli, 1981:306).

Alasan digantinya shad dengan siin pada semua kalimat di atas yaitu mengembalikan pada asal katanya, yaitu بسط – يبسط ، سيطر – يسيطر. Sedangkan alasan ditetapkannya shad yaitu mengikuti rasm/khat usmani al-Qur’an dan juga untuk menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf sesudahnya (tha’) yang mempunyai sifat isti’la’ (Al-Qaisy, 1987:I/34).

5. Isymam
Yaitu membaca harakat kata yang diwaqaf tanpa ada suara dengan mengangkat dua bibir setelah mensukunkan huruf yang dirafa’, seperti نستعين . Dalam bacaan Imam Hisyam juga mengisymamkan kata seperti قيل dengan mencampur dlammah dan kasrah dalam satu huruf, demikian juga Imam Hamzah membaca isymam kata صراط، الصراط dengan memadukan bunyi ص dan ز (Al-Qadli, 1981:15). Namun dalam bacaan Hafs isymam hanya ada kata لا تأمنا. yakni lidah melafadzkan لا تأمننا tanpa ada perubahan suara alias tetap sama dengan tulisannya. Berikut ini ayat selengkapnya:
Mereka berkata: “Wahai ayah Kami, apa sebabnya kamu tidak mempercayai Kami terhadap Yusuf, Padahal Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang mengingini kebaikan baginya.

Kalau diamati, ternyata rasm al-Qur’an hanya menulis satu nun yang ditasydid. Pertanyaan yang muncul, mana dlammahnya? sehingga untuk mempertemukan keduanya dipilih jalan tengah yaitu bunyi bacaan mengikuti rasm, sedang gerakan bibir mengikuti kata asal. Dalam bacaan imam Ibnu Amir untuk riwayat As-Susy, seperti bacaan di atas disebut idgham kabir, yakni bertemunya dua huruf yang sama dan sama-sama hidup, lalu melebur menjadi satu huruf. Dalam bacaan Imam Ashim, hanya dikenal satu idgham saja, yaitu idgham shagir (mengidghamkan dua huruf yang sama, yang salah satunya huruf mati).
Secara bahasa, hal itu bisa difahami bahwa memang asal dari kalimat itu terdapat dua nun yang diidharkan, nun pertama dirafa’kan dan kedua dinashabkan (Al-Qaisy, 1987:II/161). Nun pertama dirafa’kan (didlammahkan) karena ia termasuk fi’il mudlari yang tidak kemasukan ‘amil nawashib maupun jawazim. Kata “la” yang masuk pada kata “ta’manu” adalah nafy (yang berarti “tidak”) bukan nahy (yang berarti “jangan”). Hal itu diambil dari pemahaman konteks ayat:
قَالُواْ يَا أَبَانَا مَا لَكَ لاَ تَأْمَنَّا عَلَى يُوسُفَ وَإِنَّا لَهُ لَنَاصِحُونَ
(Mereka, saudara-saudara Yusuf, berkata: wahai ayah kami, mengapa engkau tidak percaya pada kami untuk melindungi Yusuf, padahal kami selalu menasehatinya).

6. Tas-hil
Arti tashil secara bahasa memberi kemudahan atau keringanan, sedangkan dalam istilah qiraat, tashil diartikan membaca hamzah kedua – dari dua hamzah yang beriringan – dengan bunyi leburan hamzah dengan alif, seperti أأنذرتهم، أأنتم dan lain-lain.
Hanya saja dalam riwayat Hafs bacaan tashil hanya satu yaitu pada QS. al-Fusshilat:44).
Dan Jikalau Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?” Apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (Rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: “Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quran itu suatu kegelapan bagi mereka. mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh”.

Ketika bertemu dua hamzah qatha’ yang berurutan pada satu kata maka melafadzkan kata semacam ini bagi orang Arab terasa berat, sehingga bacaan seperti ini bisa meringankan.
Juga ada tashil yang berasal dari mad lazim, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Nasr Makky (tt:137) ada enam tempat, yaitu
1. Surat al-An’am ayat 143 : قُلْ آلذَّكَرَيْنِ حَرَّمَ أَمِ الْأُنْثَيَيْنِ أَمَّا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ أَرْحَامُ الْأُنْثَيَيْنِ
2. Surat al-An’am ayat 144 : قُلْ آلذَّكَرَيْنِ حَرَّمَ أَمِ الْأُنْثَيَيْنِ أَمَّا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ أَرْحَامُ الْأُنْثَيَيْنِ
3. Surat Yunus 51 : أَثُمَّ إِذَا مَا وَقَعَ آمَنْتُمْ بِهِ آلْآنَ وَقَدْ كُنْتُمْ بِهِ تَسْتَعْجِلُونَ
4. Surat Yunus 91 : آلْآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
5. Surat Yunus 59 : قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ
6. Surat al-Naml 59 : قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَسَلَامٌ عَلَى عِبَادِهِ الَّذِينَ اصْطَفَى آللَّهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ

7. Madd & Qasr
Dalam qiraat khusnya bacaan Hafs, banyak ditemukan kata yang tertulis dalam rasm usmani pendek tapi dibaca panjang dan tertulis panjang dibaca pendek, di antaranya:
a- ملك terbaca مالك
Imam Ashim dan Ali Kisa’i membaca mim dengan alif, sedang yang lain membaca pendek. Mereka yang membaca dengan alif beralasan sesuai dengan ayat al-Qur’an : قل اللهم مالك الملك dan bukan ملك الملك juga karena maalik berarti dzat yang memiliki, sedangkan malik berarti tuan atau penguasa sehingga dalam Allah berfirman: ملك الناس yang berarti tuhan manusia dan tidak cocok makna yang seperti itu untuk kata hari pembalasan يوم الدين (Al-Qaisy, 1987:I/26).

b-أنا terbaca أن ketika washal
Alasan dipendekkannya nun ketika washal pada semua kata أنا (dlamir yang berarti saya) karena fungsi alif tersebut hanya berfungsi menjelaskan harakat sebagaimana menambahkan ha’ ketika berhenti (هاء السكت ). Ketika ada kata benda yang hurufnya sedikit lalu diwaqafkan dengan sukun maka bunyinya akan janggal dan diberi tambahan alif itu agar bunyi nun tetap sebagaimana asalnya. Sedangkan tidak ditambahkannya alif ketika washal karena nun sudah berharakat (Al-Qaisy, 1987:II/61).
Ada juga lafadz yang mirip dengan أنا yaitu لكنا pada QS. Al-Kahfi:38. Berikut ini paparan ayatnya:
Tetapi aku (percaya bahwa): Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku.

yakni dibaca pendek ketika washal dan dibaca panjang ketika waqaf. Hal itu dikarenakan asal dari لكنا adalah لكن + أنا dan bukan لكن + نحن .


c- الرسولا، الظنونا، قواريرا
Imam Nafi’, Abu Bakar, Hisyam, al-Kisa’i membaca kata di atas dengan tanwin, sementara yang lain termasuk Imam Ashim riwayat Hafs membacanya dengan tanpa tanwin. Semua ulama mewaqafkannya dengan alif kecuali Hamzah dan Qonbul, keduanya mewaqafkan tanpa alif (Al-Qaisy, 1987:II/352).
Alasan mereka yang mewaqafkan dengan alif adalah karena mengikuti rasm atau khot mushaf yang mencantumkan alif dan ketika washal alifnya tidak terbaca karena sighat muntahal jumu’ yang termasuk isim ghairu munsharif sehingga tidak boleh ditanwin. Sedangkan الظنونا، الرسولا، السبيلا meskipun bukan termasuk jama’ akan tetapi ia disamakan dengan syair yang akhir baitnya terdapat fathah yang dipanjangkan dengan alif (Al-Qaisy, 1987:II/353).

d- أولئك، أولوا، الملاء
Dalam rasm usmani ada beberapa huruf yang tertulis tapi tidak terbaca seperti أولئك أولو، الملاء, ada pula yang tak tertulis tapi terbaca seperti هذا، هذه، ذلك . Inilah yang merupakan keunikan dari rasm al-Qur’an yang penuh rahasia dan mukjizat.

8. Shilah
Kaidah umum yang berkaitan dengan ha’ dlamir berbunyi bahwa apabila ada ha’ dlamir yang tidak didahului huruf mati maka harus dipaanjangkan seperti له، به, dan juga untuk menguatkan huruf ha’ perlu ditambahkan huruf mad setelahnya, karena tidak ada alasan yang mengharuskan membuang huruf setelah ha’ dan huruf sebelumnya berharakat, inilah ijma para ulama qira’ah (Al-Qaisy, 1987:I/44), sebaliknya apabila ha didahului huruf yang disukun maka dibaca pendek, seperti منه، إليه. Para ulama qurra’ kecuali Ibnu Katsir, kurang senang menggabungkan dua huruf sukun yang dipisah oleh huruf lemah yaitu ha, sehingga mereka membuang huruf mad setelah ha’ dan inilah madzhab Imam Sibawaih (Al-Qaisy, I/42).
Kendatipun demikian dalam riwayat Hafs ditemukan ha’ dlamir yang dipanjang walau didahului huruf mati seperti ويخلد فيه مهانا (QS. al-Furqan:69). Dalam hal ini Imam Hafs sama bacaannya dengan Ibnu Katsir, yaitu membaca shilah ha’ (panjang). Alasannya diketahui bahwa ha’ adalah huruf lemah sebagaimana juga hamzah, sehingga ketika ha’ dikasrahkan, maka sebagai ganti dari wawu sukun adalah ya’ untuk menguatkan ha’. Dalam perkataan Arab sendiri jarang dijumpai wawu sukun yang didahului kasrah, sehingga menjadi فيهي atau عليهي (Al-Qaisy, 1987:I/42). Dan ada pula ha’ yang dipendekkan (kendatipun tidak didahului huruf mati) dengan mendlammahkan ha’ tanpa shilah, yaitu يرضه لكم (QS. Al-Zumar:7), bacaan seperti juga dijumpai pada bacaan Imam Hamzah, Nafi’, Ya’qub (Al-Qadli, 1981:274).
Alasan dipanjangkannya kata فيه yaitu mengembalikannya pada asalnya, yang mana ـه berasal dari kata هو . Ketika digabung dengan في menjadi فيهو , akan tetapi karena ha’ didahului ya’ sukun yang identik dengan kasrah maka harakat ha’ harus disesuaikan dengan harakat sebelumnya dan mengganti huruf mad wawu menjadi ya’ untuk menyesuaikannya dengan kasrah sehingga menjadi فيهي dan huruf mad diganti dengan harakat kasrah berdiri: فيه . Al-Khalidi (2004:50) menyebut ha’ tersebut dengan istilah “ha’ul khafdli” (ha’ panjang yang berfungsi merendahkan). Menurutnya konteks ayat itu memang menghendaki dipanjangkannya ha’ tersebut. Ayat itu menceritakan beberapa dosa dan kemaksiatan yang tidak akan dilakukan oleh “ibadur rahman (hamba pilihan Allah yang pengasih)”.
(yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan Dia akan kekal dalam azab itu, dalam Keadaan terhina,

Sebagai konsekuensi atas dosa yang dilakukan, mereka akan mendapatkan siksa yang pediah serta abadi dalam kehinaan. Saat kita memanjangkan ha’ pada fii-hii, seakan-akan kita ikut membantu melemparkan mereka ke neraka serta ikut menjerumuskan para pelaku dosa tersebut ke jurang kehinaan (khafdlu).
Mengenai alasan dipendekkannnya ha’ pada kata يرضه dan semacamnya yaitu mengembalikannya pada tulisan mushaf yang tidak terdapat wawu mad setelah ha’.
Demikian juga dalam al-Quran terdapat terdapat ha’ dlamir yang didlammahkan meski jatuh setelah ya’ sukun (عليهُ), yaitu pada surat Al-Fath ayat 10.
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka, Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.

Asbabun nuzul dari ayat tersebut adalah: bahwa pada bulan Zulkaidah tahun keenam Hijriyyah Nabi Muhammad s.a.w. beserta pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Mekkah untuk melakukan ‘umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Sesampai di Hudaibiyah beliau berhenti dan mengutus Utsman bin Affan lebih dahulu ke Mekah untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau dan kamu muslimin. mereka menanti-nanti kembalinya Utsman, tetapi tidak juga datang karena Utsman ditahan oleh kaum musyrikin kemudian tersiar lagi kabar bahwa Utsman telah dibunuh. karena itu Nabi menganjurkan agar kamu muslimin melakukan bai’ah (janji setia) kepada beliau. merekapun Mengadakan janji setia kepada Nabi dan mereka akan memerangi kamu Quraisy bersama Nabi sampai kemenangan tercapai. Perjanjian setia ini telah diridhai Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18 surat ini, karena itu disebut Bai’atur Ridwan. Bai’atur Ridwan ini menggetarkan kaum musyrikin, sehingga mereka melepaskan Utsman dan mengirim utusan untuk Mengadakan Perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian ini terkenal dengan Shulhul Hudaibiyah.

Menurut Al-Khalidi, Sifat memenuhi janji berjuang ini merupakan sifat yang mulia dan luhur (rif’ah). Harakat dlammah memberikan nuansa kemuliaan dan keagungan akhlak. Jadi tepat sekali Allah mendlammahkan ha’ tersebut karena memang suasana sosiologisnya menunjukkan hal keluhuran itu, sehingga Al-Khalidi menyebutnya ha’ tersebut dengan istilah ha’ rif’ah.

9. Memfathah atau mendlammah ض
Dalam al-Qur’an ada lafadz serupa yang diulang tiga kali dalam satu ayat yaitu ضعْف (QS. al-Ruum:54).
Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari Keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah Keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.


Kata tersebut adalah masdar dari ضعُف – يضعَف . Para ulama qira’ah berbeda dalam membaca harakat dlad, Imam Hamzah dan Imam Syu’bah (salah satu perawi dari Imam Ashim) memfathah dlad dan lainnya kecuali Imam Hafs membacanya dengan dlammah. Sedangkan Imam Hafs membaca keduanya, fathah dan dlammah.
Alasan terjadinya perbedaan itu karena dalam ilmu sharaf, kata ضعُف – يضعَف itu mempunyai dua masdar yaitu ضَعْف dan ضُعْف , sebagaimana yang terjadi pada kata فقر juga mempunyai dua masdar yakni فَقْر dan فُقْر (Al-Qaisy, 1987:II/213).

10. Hukum Membaca Basmalah Pada Surat Taubat
Dalam Mushaf Usmani semua surat al-Qur’an di awali dengan basmalah kecuali surat al-Bara’ah atau surat al-taubat. Terkait dengan hal itu, sahabat Nabi Ubay bin Ka’ab berkata bahwa Rasulullah pernah menyuruh kami menulis basmalah di awal setiap surat, dan tidak memerintahkan kami menulisnya di awal surat al-Bara’ah, oleh karenanya surat tersebut digabungkan dengan surat al-Anfal dan itu lebih utama karena adanya keserupaan keduanya.
(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan RasulNya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrikin yang kamu (kaum muslimin) telah Mengadakan Perjanjian (dengan mereka).

Imam Ashim berkata: Basmalah tidak ditulis di awal surat al-Bara’ah, karena basmalah itu berarti rahmat atau kasih sayang, sedangkan al-Bara’ah merupakan surat adzab atau siksaan (al-Qaisy, 1987:I/20).
Para ulama fiqh berbeda pendapat mengenai hukum membaca basmalah di awal surat al-Bara’ah ini, Imam Ibnu Hajar dan al-Khatib mengharamkan membaca basmalah di awal surat ini dan memakruhkan membacanya di tengah surat. Sedangkan Imam Ramli dan para pengikutnya memakruhkan membaca basmalah di awal surat dan mensunnahkan membacanya di tengah surat sebagaimana surat-surat yang lain (Al-Qadli, 1981:13).


Daftar Rujukan


bu Thahir, Abd al-Qayyum ibn Abd al-Ghafur. 1994. Shafahat fi Ulumal-Qiraat. Madinah: Mathabi ar-Rasyid.
Ad-Darwisyi, Muhyiddin. 2002. I’rabul Quran wa Bayanuh. Damaskus: Dar Ibn Katsir. Juz I. Hal. 5-7.
Al-Khalidi, Shalah Abd Fattah. 2004. Lathaif Qur’aniyyah. Damaskus: Dar al-Qalam
Al-Qadli, Abdul Fattah. 1981. Al-Budur az-Zahirah. Cet. 1. Beirut: Dar al-Kitab al-Araby.
Al-Qaisy, Abu Muhammad Makki ibn Abi Thalib. 1987. Al-Kasyfu an Wujuh al-Qiraat as-sab’I wa Ilaliha wa Hujajiha. Cet. 4. Beirut: Muassasah ar-Risalah.
Arwani Amin. Tanpa tahun. Faidl al-Barakat. Kudus: Penerbit Menara Kudus
Ibrahim Mushtofa. Tanpa tahun. Al-Mu’jam al-Wasith. Kairo: Dar ad-Da’wah
Muhammad Makki Nasr. Tanpa tahun. Nihayat al-Qaul al-Mufid fi Ilm at-Tajwid. Kairo: Maktabat as-Sofa

Ashim bin Abu Najud Imam para Qari


"Ashim bin Abi an-Najud adalah seorang yang mempunyai adab atau perilaku yang baik, fasih dalam berbicara dan mempunyai suara yang bagus" (Salamah bin Ashim)
"Saya tidak melihat seorang pun yang lebih pandai bacaan al-Qur'annya selain dari Ashim bin Abi an-Najud" (Abu Ishaq)

" Pada kami ada dua orang yang membacakan al-Qur'an. Salah seorang dengan qiroat Za'id bin Tsabit yaitu Ashim. Sedangkan yang lainnyamembacakan al-Qur'an kepada umat manusia dengan qira'at Abdullah bin Mas'ud, yaitu al-A'masyi" (Syamr bin 'Athiyyah)

Ia dikenal sebagai seorang ahli nahwu yang fasih. Ia membuktikan bahwa bahasa arab adalah kembang bagi al-Qur'an yang turun dalam bahasa arab. Ia mengambil ilmu qiroat dari para sahabat Rasul.

Suatu hari al-A'masyi duduk di serami masjid Abdullah bin Mas'ud untuk membacakan al-Qur'an pada masyarakat dengan metode Qiroat Ibnu Ummi 'Abd . Sedangkan Ashim berada di serambi lainnya untuk membacakan al-Qur'an dengan metode qiroat Zaid bin Tsabit.

Ia juga membacakan di kuffah dan menemui penduduk bashroh untuk membacakan pada mereka. Karena itu, ia diistimewakan pada zamannya di atas rekan-rekannya yang lain. Banyak orang bersaksi untuknya tentang kefasihan. Madzhabnya dalam ilmu al-Qur'an bersifat total. Ada yang mengatakan, "Apabila berbicara, nyaris saja dirasuki sifat membagakan diri."

Ashim menjadi rujukan Qiroat di kuffah setelah guru beliau Abdurrohman as-Sulami.

Nama panggilan beliau adalah Abu Bakar. Ia lahir pada masa Mu'awiyah bin Abu Sofyan. Nama aslinya adalah Ashim bin Abu an-Najud bin Bahdalah. Kata 'an-Najud' berarti unta yang hanya duduk pada tempat yang tinggi. Sedangkan kata 'Bahdalah' menurut sebuah sumber adalah nama ibunya. Para sejarawan menganggapnya termasuk dalam generasi muda tabi'in.

Ashim berasal dari kabilah Asad, dan tinggal di kuffah. Beliau adalah salah seorang ahli qiroat yang menggantikan guru dan syaikhnya Abu Abdurrohman as-Sulami.

Ia membaca al-Qur'an pada Abdurrohman as-Sulami, Zirr bin Hubaisy al-Asadi dan lainnya. Ia mempunyai hadits yang terkenal dalam musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal. Ia mengajari murid-murid yang hadir pada setiap majelis-majelis qiroat di setiap tempat. Bahkan, sebagian mereka sangat terkenal seperti gurunya dan popularitasnya menyebar ke penjuru sepanjang masa. Di antara mereka adalah Hafs dan Syu'bah.

Ashim terkenal dengan bacaan Hams dan Madd serta cara pembacaan yang serius. Ia memperkaya ilmunya tentang qiroat dari berbagai sumber yang terbukti ketsiqohannya. Ia membaca al-Qur'an dengan qiroat Zaid bin Tsabit, dan juga dengan qiroat Abdullah bin Mas'ud. Hal ini dapat ditemukan pda orang-orang yang hidup semasanya. Syamr bin 'Atiyyah mengatakan, "Pada kami ada dua orang yang membacakan al-Qur'an. Salah seorang dengan qiroat Zaid bin Tsabit yaitu Ashim, sedangkan yang lainnya membacakan al-Qur'an kepada umat manusia dengan qiroat Abdullah bin Mas'ud, yaitu al-A'masy."

Pernyataan yang kami sebutkan ini menunjukkan betapa kuatnya antar sistem pembelajaran qiroat pada masa itu.

Ashim mengatakan tentang dasar-dasar qiroatnya, "Tak ada seorang pun yang membacakan al-Qur'an kepadaku tentang suatu huruf kecuali Abu Abdurrohman as-Sulami. Karena ia membaca pada sahabat Ali bin Abi Tholib, dan saya pulang dari majelisnya lalu memperdengarkan apa yang telah saya bca itu pada Zirr bin Hubaisy. Zirr telah membaca al-Qur'an pada Ibnu Mas'ud."

Para ulama qiroat akan mengetahui dan memastikan bahwa Imam Ashim adalah satu dari ulama qiroat yang selalu berusaha meyakin metode qiroatnya dan mengambil ilmunya dari sumber yang jernih.

Menurut Imam Ahmad bin Hambal, terdapat kepercayaan besar para ulama qiroat pada sistem pembelajaran qiroat Ashim bin Abu an-Najud. Abdullah bin Ahmad bin Hambal berkatas,"Saya bertanya kepada ayahku, tentang Ahim bin Bahdalah. Ia menjawab, "Ia adalah seorang yang sholih, terbaik dan tsiqoh."

Saya bertanya, "Qiroat apakah yang paling engkau sukai?"

Ia menjawab, "Qiroat penduduk Madinah. Kalau tidak ada, maka qiroat Ashim."

Penyelenggaraan sistem pembelajaran qiroat oleh Imam Ashim ini mengimbas pada murid-muridnya. Mereka lulus berkat tanganya, sehingga mereka memenuhi segala penjuru wilayah dengan popularitas dan qiroatnya; antara lain: Hafs bin Sulaiman al-Dauri dan Abu Bakar bin Iyyasy.

Suatu hari Hafs bin Sulaiman duduk menemuinya setelah menyelesaikan qiroatnya. Ashim berkata,"Qiroat yang saya baca pada Abu Abdurrohman as-Sulami adalah qiroat yang saya bacakan untukmu. Dan qiroat yang saya bacakan pada Abu Bakat bin Iyyasy adalah qiroat yang saya perdengarkan kepada Ziir dari Ibnu Mas'ud."

Ini menunjukkan bahwa jalur qiroat Hafs adalah dari Ashim dari Abu Abdurrohman as-Sulami dari Ali bin Abi Tholib. Sedang qiroat Abu Bakar bin Iyyasy adalah dari Ashim, dari Zirr bin Hubaisy, dari Abdullah bin Mas'ud.

Ashim mempunyai prinsip-prinsip qiroat, sebagaimana dirangkum oleh para ulama':
1. Membaca basmalah di antara dua surah, kecuali antara surah al-Anfal dan Baraah . Menurutnya, dibaca waqaf, saktah dan washal.
2. Membaca dua mad (mutthasil dan munfasil) dengan panjang bacaan yang sedang ukuran empat harakat.
3. Membaca alif dengan imalah (condong ke bacaan ya') pada kata ramaa dalam penggalan ayat (walakinnallaha ramaa) dari surah al-Anfal. Alif pada kata a'maa di surah al-Isro': waman kaana fi hadzihi a'maa fashuwa fil akhiroti a'maa; dan alif pada kalimat na'a pada penggalan ayat wana'a bijanibih; alif pada kata ranaa dalam kalimat kalla bal ranaa di surah al-Muthoffifin; alif pada kata haar pada syafa jurufin haar di surah al-Baraah. Sedangkan Imam Hafs membaca dengan imalah hanya pada alif setelah ra ' di majraha.
4. Syu'bah meriwayatkan , ia membaca fathah ya' idhofah, dalam miem ba'di iamuhu ahmad (dibaca min ba'diyasmuhu ahmad) di surah ash-Shof, serta membacanya sukun pada riwayat Syu'bah juga dalam ayat waummiya ilahaini (dibaca wa ummi ilahaini) dalam surah al-Maidah; (waajrin illa) pada semua tempat dan (wajhiya lillah) di surah Ali Imran dan al-An'am.
5. Membuang ya' tambahan baik dalam bacaan washal dan waqaf dari riwayat syu'bah dalam (fama ataniyallahu mimma khairun) di surah an-Naml.
6. Dari riwayat syu'bah juga, ia membaca min ladunhu dalam surah al-Kahfi dengan membaca dengan sukun huruf dal bersama dengan isymam (isyarat dengan dua bibir condong ke suara dhammah); dan besrta pembacaan kasrah 'nun' dan 'ha' serta peneruan harakatnya.

Imam Ashim mempunyai banyak prinsip qiroat, antara lain: ia tidak menanggap alif laam mim, baamim kaaf haa yaa 'ain shaad, tha ha dan juga hal-hal sejenisnya sebagai ayat.
Apabila kita membicarakan sistem pembelajaran qiroat Ashim bin Abu an-Najud, maka kita harus mengenal guru-guru dan murid-murid dari Ashim. Di antara gurunya adalah Abu Abdurrohman as-Sulami. Orang pertama membacakan al-Qur'an pada penduduk kuffah yang dikukuhkan oleh Utsman bin Affan. Namanya Abdullah bin Hubaib. Ia pernah duduk di masjid jami', berjanji untuk mengajar al-Qur'an pada umat manusia dan senatiasa membacakan al-Qur'an untuk mereka selama 40 tahun. Seperti banyak disebutkan, ia wafat pada masa pemerintahan Bisyr bin Marwan di Irak, pada mas akekhilafan saudaranya Abdul Malik bin Marwan. Usianya saat itu adalah 73 tahun.

Ia belajar qiroat dari Utsman, Ali bin Abi Tholib, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas'ud dan Ubayy bin Ka'ab. Abu Abdurrohman as-Sulami mengatakan, "Sering kali Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib membacakan al-Qur'an padaku. Sya pegang mushaf lalu Ali membaca. Saya membacakan al-Qur'an pada al-Hasan dan al-Husain, hingga mampu membaca al-Qur'an. Keduanya belajar al-Qur'an pada Amirul Mukminin Ali. Barang kali ia mendapatkan bacaan satu huruf setelah satu huruf pada saya."

Alqamah bin Mastrad menuturkan, Abu Abdurrohman as-Sulami belajar al-Qur'an dari Utsman dan ia memperdengarkannya pada Ali bin Abi Tholib.

Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Hafs bin Sulaiman dan Abu Bakar bin Iyyas.

Imam Ashim mempunyai riwayat hadits dalam kutub as-Sittah, antara lain; Ashim meriwayatkan, Zirr bin Hubaisy berkata, "Saya datang kepada Shofwan bin Assal. Ia bertanya pada saya, "Apa yang membuatmu datang ke sini?" Saya menjawab, "Untuk mencari ilmu." Ia menjawab, "Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi orang yang mencari ilmu dengan ridha (ikhlas) dengan apa yang ia cari."

Saya berkata, "ada perasaan berat dalam diriku tentang mengusap dua khuff (sepatu selop) setelah membuang hajat besar atau hajat kecil. Apakah engkau mendengar sesuatu dari Rasulullah ` yang mengatakan sesuatu tentang hal ini?."

Ia berkata, "Ya. Ia memerintahkan kepada kami apabila kami dalam perjalanan jauh (safar) atau sebagai orang-orang yang sedang musafir, agar kita tidak melepaskan khuff-khuff kami selama tiga hari dan malmanya kecuali karena adanya junub (penyebaab mandi besar), bukan karena buang hajat besar, kencing aaaatau karena tidur."

Saya bertanya lagi, "Apakah engkau mendengarnya menuturkan tentang hawa nafsu?"

Ia menjawab, "Ya,. Yaitu , ketiika kami sedang bersamanya dengan suara keras. Ia berkata, "Wahai Muhammad!" Maka ia menjawabnya dengan kuantitas suara yang sama, "Ha!"

Ia berkata, "Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang mencintai suatu kaum dan tidak bergabung dengan mereka?"

Rasul menjawab, "Seseorang bersama dengan orang yang mencintai."

Kemudian ia melanjutkan pembicaraan dengan membrikan hadits kepada kammmmmi bahwa dari sejak sebelum maghrib ada pintu yang dibuka untuk bertaubat. Lebarnya sejauh 40 tahun perjalanan dan tidak ditutup hingga matahari terbit."

Setiap mengerjakan sholat, Imam Ashim berdiri tegak seakan-akan sebuah batang kayu. Ia menghabuskan waktu hari jum'at hingga Ashar di masjid. Ia seorang yang gemar ibadah, terbaik dan selalumenunaikan sholat. Ketika melihat masjid, ia berkata, "Condongkan bangunmu kepada kami. Sesungguhnya keperluanku tak akan terlewatkan." Kemudian ia masuk ke masjid dan sholat.

Ketika telah sampai ajalnya, Abu Bakar bin Iyyasy muridnya, datang menemuinya. Dia mendapatinya sefang membaca ayat "tsumma ruddu ilallahi maulaa humulhaqq."

Ia pingsan lalu tersadar. Lalu ia kembali membaca ayat tadi berulang-ulang. Sang murid berkata, "Lalu ia membaca dengan Hams, maka saya mengetahui bahwa itu adalah karakternya."

Semoga Allah merohmati Ashim, orang yang memiliki ketepatan dalam qiroat dan jujur dalam hadits. Suatu hari di tahun 127 H, ruhnya yang suci nauik menemui Sang Penciptanya. Berkata adz-Dzahabi, "Beliau meninggal pada masa khilafah al-Walid bin Abdul Malik." Semoga Allah menghidupkan Syaikh para Qurra, pemmilik suara yang merdu dalam membaca al-Qur'an.


Selasa, 16 April 2013

7 IMAM QURRO SAB’AH


7 imam qurro sab’ah memang jarang terdengar dikalangan tholib, tetapi itu adalah bagian dari ilmu bacaan yang disampaikan oleh Rasululloh SAW kepada kita yang harus kita pelajari sepol-kemampuan kita.
7 IMAM QURRO SAB’AH

7 IMAM QURRO SAB’AH ini memiliki cara membaca masing – masing ,jadi sebanya 21 cara membaca termsuk Imam Hasf di dalamnya, beliau termsuk murid dari Imam A’sim , beliau ( Imam Hafs ) berguru bersama Imam Syu’bah bin Ayyasy bin salim Al-Hanath Al-Asadi Alkufi , Julukan Beliau Abu Bakar.

dalam edisi kali ini , penulis mencoba berbagi pengetahuan untuk para pembaca yang budiman , dari beberapa sumber tentang Qiroah As - Sab'ah

7 IMAM QURRO SAB’AH

Mempelajari bacaan 7 Imam Qurro Sab’ah ada yang mengatakan begitu sulit, namun dengan metode kami bacaan 7 Imam qurro sab’ah bukan hanya sekedar belajar tetapi bisa di praktekan, baik ketika saling menderes tapi juga ketika sholat.

1. PENGERTIAN QIROAT

Al-Qira’aat adalah jamak dari kata qiro’ah yang berasal dari qara’a – yaqra’u – qirâ’atan. Menurut istilah qira’аt ialah salah satu aliran dalam pelafalan/pengucapan Al-Qur’аn yang dipakai oleh salah seorang imam qura’ yang berbeda dengan lainnya dalam hal ucapan Al-Qur’anul Karim. Qira’аt ini berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW.

2. SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU QIRO’AT

Para sahabat mempelajari cara pengucapan Al-Quran langsung dari Rasulullah SAW, bahkan beberapa dari ‘secara resmi’ direkomendasikan oleh Rasulullah SAW sebagai rujukan sahabat lainnya dalam pengucapan Al-Quran.
• Dari Abdullah bin Amr bin Ash, Rasulullah SAW bersabda : ” Ambillah (belajarlah) Al-Quran dari empat orang : Abdullah bin Mas’ud, Salim, Muadz, dan Ubai bin Ka’b ” (HR Bukhori)
• Rasulullah SAW juga bersabda : ” Barang siapa yang ingin membaca Al-Quran benar-benar sebagaimana ia diturunkan, maka hendaklah membacanya seperti bacaan Ibnu Ummi Abd (Abdullah bin Mas’ud)
Diantara sahabat yang populer dengan bacaannya adalah: Utsman bin Affan, Ali bin Abi Tholib, Ubay bin Ka’b, Zaid bin Tsabit, Abu Darda, Ibnu Mas’ud, dan Abu Musa al-Asy’ary. Dari mereka inilah kebanyakan para sahabat dan tabi’іn di seluruh daerah belajar. Kemudian para tabi’іn tersebut menyebar di kota-kota besar pemerintahan Islam, diantaranya adalah :
a) Madinah : Ibnu Musayyib, Urwah, Salim, dan Umar bin Abdul Aziz
b) Mekah : Ubaid bin Umair, Atho’ bin Abi Robah, Thowus, Mujahid, Ikrimah
c) Kufah : ilqimah, al-aswad, masruq, ubaidah, dll
d) Bashroh : abu aliyah, abu roja’, qotadah, ibnu siirin
e) Syam : al-mughiroh, shohib utsman, dll

Kemudian pada masa tabi’іn awal abad 1 Hijriyah, beberapa kelompok mulai sungguh-sungguh menata tata baca dan pengucapan al-Quran hingga menjadi ilmu tersendiri sebagaimana ilmu-ilmu syariah lainnya. Kemudian muncul pula madrasah-madrasah qiro’ah yang mempelajai ilmu tersebut, yang akhirnya memunculkan keberadaan para qurro’, yang hingga hari ini qiroat qur’аn banyak disandarkan kepada mereka, khususnya imam qurro yang tujuh.

3. RAGAM QIRO’AT & HUKUM-HUKUMNYA

Sebenarnya Imam atau guru Qiraat itu jumlahnya banyak hanya sekarang yang populer adalah tujuh orang. Qiraat tujuh orang imam ini adalah qiraat yang shahih dan memenuhi syarat-syarat disebut qiroaat yang shoih. Syarat tersebut antara lain :

1) Muwafawoh bil Arobiyah ( sesuai dengan bahasa arab)
2) Muwafaqoh bi ahad rosm utsmani ( sesuai dengan salah satu penulisan mushaf Utsmani)
3) Shihhatus Sanad ( bersandarkan dari sanad atau riwayat yang shohih / kuat)

Dengan ketentuan-ketentuan di atas, kemudian para ulama membagi qiro’аt menjadi beberapa jenis dilihat dari layak tidaknya untuk diikuti :

1) Mutawatir ; yaitu qiraat yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta , dari sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yakni Rasulullah Saw. Juga sesuai dengan kaidah bahasa arab dan rasam Ustmani
2) Masyhur, yaitu qiraat yang sahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa arab dan rasam Ustmani serta terkenal pula dikalangan para ahli qiraat sehingga tidak dikategorikan qiraat yang salah atau syaz. qiraat macam ini dapat digunakan.
3) Ahad, yaitu qiraat yang sahih sanadnya tetapi menyalahi rasam Ustmani, menyalahi kaidah bahasa Arab, atau tidak terkenal. Qiraat macam ini tidak dapat diamalkan bacaanya.
4) Syaz, yaitu qiraat yang tidak sahih sanadnya.
5) Ma’udu, yaitu qiraat yang tidak ada asalnya.
6) Mudraj, yaitu yang ditambahkan ke dalam qiraat sebagai penafsiran (penafsiran yang disisipkan ke dalam ayat Quran)

Keempat macam terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya.

4. QARI TUJUH YANG MASYHUR

Para Qari yang hafal Al-Qur’аn dan terkenal dengan hafalan serta ketelitiannya, dan menyampaikan qira’аt kepada kita sesuai dengan yang mereka terima dari sahabat Rasulullah SAW. Qira’аt yang mutawatir semuanya kita kutip dari para qari yang hafal Al-Qur’аn dan terkenal dengan hafalan serta ketelitiannya.
Mereka ialah imam-imam qira’аt yang masyhur yang meyampaikan qira’аt kepada kita sesuai dengan yang mereka terima dari sahabat Rasulullah SAW. Mereka memiliki keutamaan ilmu dan pengajaran tentang kitabullah Al-Qur’аn sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Sebaik-baiknya orang diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’аn dan mengajarkannya”.


erikut sekilas tentang profil mereka :

1) Ibnu ‘Amir (118 H)
Nama lengkapnya adalah Abdullah al-Yahshshuby seorang qadhi di Damaskus pada masa pemerintahan Walid ibnu Abdul Malik. Pannggilannya adalah Abu Imran. Dia adalah seorang tabi’іn, belajar qira’аt dari Al-Mughirah ibnu Abi Syihab al-Mahzumy dari Utsman bin Affan dari Rasulullah SAW. Beliau Wafat di Damaskus pada tahun 118 H. Orang yang menjadi murid, dalam

2) Ibnu Katsir (120 H)
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdullah Ibnu Katsir ad-Dary al-Makky, ia adalah imam dalam hal qira’аt di Makkah, ia adalah seorang tabi’іn yang pernah hidup bersama shahabat Abdullah ibnu Jubair. Abu Ayyub al-Anshari dan Anas ibnu Malik, dia wafat di Makkah pada tahun 120 H. Perawinya dan penerusnya adalah al-Bazy wafat pada tahun 250 H. dan Qunbul wafat pada tahun 291 H.

3) ‘Ashim al-Kufy (128 H)
Nama lengkapnya adalah ‘Ashim ibnu Abi аn-Nujud al-Asady. Disebut juga dengan Ibnu Bahdalah. Panggilannya adalah Abu Bakar, ia adalah seorang tabi’іn yang wafat pada sekitar tahun 127-128 H di Kufah. Kedua Perawinya adalah; Syu’bah wafat pada tahun 193 H dan Hafsah wafat pada tahun 180 H.

4) Abu Amr (154 H)
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Amr Zabban ibnul ‘Ala’ ibnu Ammar al-Bashry, sorang guru besar pada rawi. Disebut juga sebagai namanya dengan Yahya, menurut sebagian orang nama Abu Amr itu nama panggilannya. Beliau wafat di Kufah pada tahun 154 H. Kedua perawinya adalah ad-Dury wafat pada tahun 246 H. dan аѕ-Susy wafat pada tahun 261 H.
.
5) Hamzah al-Kufy (156 H)
Nama lengkapnya adalah Hamzah Ibnu Habib Ibnu ‘Imarah az-Zayyat al-Fardhi ath-Thaimy seorang bekas hamba ‘Ikrimah ibnu Rabi’ аt-Taimy, dipanggil dengan Ibnu ‘Imarh, wafat di Hawan pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Manshur tahun 156 H. Kedua perawinya adalah Khalaf wafat tahun 229 H. Dan Khallad wafat tahun 220 H. dengan perantara Salim.

6) Imam Nafi. (169 H)
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi’ ibnu Abdurrahman ibnu Abi Na’im al-Laitsy, asalnya dari Isfahan. Dengan kemangkatan Nafi’ berakhirlah kepemimpinan para qari di Madinah al-Munawwarah. Beliau wafat pada tahun 169 H. Perawinya adalah Qalun wafat pada tahun 12 H, dan Warasy wafat pada tahun 197 H.

7) Al-Kisaiy (189 H)
Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Hamzah, seorang imam nahwu golongan Kufah. Dipanggil dengan nama Abul Hasan, menurut sebagiam orang disebut dengan nama Kisaiy karena memakai kisa pada waktu ihram. Beliau wafat di Ranbawiyyah yaitu sebuah desa di Negeri Roy ketika ia dalam perjalanan ke Khurasan bersama ar-Rasyid pada tahun 189 H. Perawinya adalah Abul Harits wafat pada tahun 424 H, dan ad-Dury wafat tahun 246 H.
Syathiby mengatakan: “Adapun Ali panggilannya Kisaiy, karena kisa pakaian ihramnya, Laits Abul Haris perawinya, Hafsah ad-Dury hilang tuturnya.

5. HIKMAH PERBEDAAN DALAM QIROAH SAB’AH

Dalam perbedaan di antara qiroah-qiroah yang shahih, kita dapatkan hikmah sebagai berikut :

1) Bukti yang jelas tentang keterjagaan Al-Quran dari perubahan dan penyimpangan, meskipun mempunyai banyak qiroat tetapi tetap terpelihara.
2) Keringanan bagi umat serta kemudahan dalam membacanya.
3) Membuktikan kemukjizatan Al-Quran, karena dalam qiroat yang berbeda ternyata bisa memunculkan istinbat jenis hukum yang berbeda pula.
Contoh dalam masalah ini adalah lafadhz : ” wa arjulakum” dalam Al-Maidah ayat 6, yang juga bisa dibaca dalam qiroah lain dengan “wa arjulikum “. Maka yang pertama menunjukkan hukum mencuci kedua kaki dalam wudhu. Sementara yang kedua menunjukkan hukum mengusap ( al-mash) kedua kaki dalam khuf atau sejenis sepatu.
4) Qiroat yang satu bisa ikut menjelaskan / menafsirkan qiroat lain yang masih belum jelas maknanya.
Contoh masalah ini : dalam surat Jumat ayat 9, lafal ” Fas’au “, asli katanya berarti berjalanlah dengan cepat, tetapi ini kemudian diterangkan dengan qiroat lain : ” famdhou” yang berarti pergilah , bukan larilah.

Bilal bin Rabah Ra ( Part II )


Sesaat setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengembuskan napas terakhir, waktu shalat tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan azan, sementara jasad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang hadir di sana tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah suara isak tangis yang membuat suasana semakin mengharu biru.

Sejak kepergian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, Bilal hanya sanggup mengumandangkan azan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, ia langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.

Karena itu, Bilal memohon kepada Abu Bakar, yang menggantikan posisi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin, agar diperkenankan tidak mengumandangkan azan lagi, karena tidak sanggup melakukannya. Selain itu, Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari kota Madinah dengan alasan berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.

Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya.”

Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah.”

Bilal menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan azan untuk siapa pun setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam wafat.”

Abu Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan azan hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal Radhiallahu ‘anhu setelah terpisah cukup lama.

Umar sangat merindukan pertemuan dengan Bilal dan menaruh rasa hormat begitu besar kepadanya, sehingga jika ada yang menyebut-nyebut nama Abu Bakar ash-Shiddiq di depannya, maka Umar segera menimpali (yang artinya), “Abu Bakar adalah tuan kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya Bilal).”

Dalam kesempatan pertemuan tersebut, sejumlah sahabat mendesak Bilal agar mau mengumandangkan azan di hadapan al-Faruq Umar ibnul Khaththab. Ketika suara Bilal yang nyaring itu kembali terdengar mengumandangkan azan, Umar tidak sanggup menahan tangisnya, maka iapun menangis tersedu-sedu, yang kemudian diikuti oleh seluruh sahabat yang hadir hingga janggut mereka basah dengan air mata. Suara Bilal membangkitkan segenap kerinduan mereka kepada masa-masa kehidupan yang dilewati di Madinah bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam..Bilal, “pengumandang seruan langit itu”, tetap tinggal di Damaskus hingga wafat.

Disalin dari Biografi Ahlul Hadits, yang bersumber dari Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya

Bilal bin Rabah Ra ( Part I )


Namanya adalah Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, memiliki kisah menarik tentang sebuah perjuangan mempertahankan aqidah. Sebuah kisah yang tidak akan pernah membosankan, walaupun terus diulang-ulang sepanjang zaman. Kekuatan alurnya akan membuat setiap orang tetap penasaran untuk mendengarnya.

Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam).

Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abduddar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir.

Ketika Mekah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Shalallahu ‘alaihi wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abu Thalib, ‘Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad.

Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.

Orang-orang Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib masih memiliki keluarga dan suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh’afun) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti ajaran Muhammad.

Kaum yang tertindas itu disiksa oleh orang-orang kafir Quraisy yang berhati sangat kejam dan tak mengenal kasih sayang, seperti Abu Jahal yang telah menodai dirinya dengan membunuh Sumayyah. Ia sempat menghina dan mencaci maki, kemudian menghunjamkan tombaknya pada perut Sumayyah hingga menembus punggung, dan gugurlah syuhada pertama dalam sejarah Islam.

Sementara itu, saudara-saudara seperjuangan Sumayyah, terutama Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka sambil memaksa mereka mencaci maki Muhammad.

Adakalanya, saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal, semoga Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.

Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”

Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!”

Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.

Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.

Suatu ketika, Abu Bakar Rodhiallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas.

Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, “Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya.”

Abu Bakar membalas, “Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya.”

Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakar, “Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar.”

Ash-Shiddiq Rodhiallahu ‘anhu menjawab, “Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah.”

Setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah, termasuk Bilal Rodhiallahu ‘anhu. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal satu rumah dengan Abu Bakar dan ‘Amir bin Fihr. Malangnya, mereka terkena penyakit demam. Apabila demamnya agak reda, Bilal melantunkan gurindam kerinduan dengan suaranya yang jernih :

Duhai malangnya aku, akankah suatu malam nanti
Aku bermalam di Fakh dikelilingi pohon idzkhir dan jalil
Akankah suatu hari nanti aku minum air Mijannah
Akankah aku melihat lagi pegunungan Syamah dan Thafil

Tidak perlu heran, mengapa Bilal begitu mendambakan Mekah dan perkampungannya; merindukan lembah dan pegunungannya, karena di sanalah ia merasakan nikmatnya iman. Di sanalah ia menikmati segala bentuk siksaan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Di sanalah ia berhasil melawan nafsu dan godaan setan.

Bilal tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bilal selalu mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun beliau pergi.

Selalu bersamanya saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad. Kebersamaannya dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ibarat bayangan yang tidak pernah lepas dari pemiliknya.

Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan azan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan azan (muazin) dalam sejarah Islam.

Biasanya, setelah mengumandangkan azan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya ‘alashsholaati hayya ‘alalfalaahi…(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan….)” Lalu, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.

Suatu ketika, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang termasuk barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengambil satu tombak, sementara sisanya diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab, tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke mana-mana. Ia membawanya dalam kesempatan dua shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan shalat istisqa’ (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat melakukan shalat di luar masjid.

Bilal menyertai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-Nya dan menolong tentara-Nya. Ia juga melihat langsung tewasnya para pembesar Quraisy yang pernah menyiksanya dengan hebat. Ia melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus pedang kaum muslimin dan darahnya mengalir deras karena tusukan tombak orang-orang yang mereka siksa dahulu.


Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekah, beliau berjalan di depan pasukan hijaunya bersama ’sang pengumandang panggilan langit’, Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah, beliau hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.

Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam saat itu, baik dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang agung itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal melaksanakan perintah Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati, lalu mengumandangkan azan dengan suaranya yang bersih dan jelas.

Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan lidah mengikuti kalimat azan yang dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.

Saat azan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”.

Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, “Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu. Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi.” Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.

Khalid bin Usaid berkata, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini.” Kebetulan ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Mekah..

Sementara al-Harits bin Hisyam berkata, “Sungguh malang nasibku, mengapa aku tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka’bah.”

AI-Hakam bin Abu al-’Ash berkata, “Demi Allah, ini musibah yang sangat besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka’bah).”

Sementara Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, “Aku tidak mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya satu kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah.”

Bilal menjadi muazin tetap selama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam hidup. Selama itu pula, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat menyukai suara yang saat disiksa dengan siksaan yang begitu berat di masa lalu, ia melantunkan kata, “Ahad…, Ahad… (Allah Maha Esa).”

Kamis, 11 April 2013

Umar Bin Abdul Aziz

Siapa yang tak kenal Umar bin Abdul Aziz. Sosok pemimpin adil, arif, lagi berilmu. Banyak kisah teladan yang beliau tinggalkan untuk para peniti kebenaran. Inilah kisah ringkasnya. Suatu hari datanglah seorang utusan dari salah satu daerah kepada beliau. Utusan itu sampai di depan pintu Umar bin Abdul Aziz dalam keadaan malam menjelang. Setelah mengetuk pintu seorang penjaga menyambutnya. Utusan itu pun mengatakan, "Beritahu Amirul Mukminin bahwa  yang datang adalah utusan gubernurnya."
 Penjaga itu masuk untuk memberitahu Umar yang hampir saja berangkat tidur. Umar pun duduk dan berkata, " Ijinkan dia masuk."
Utusan itu masuk, dan Umar memerintahkan untuk menyalakan lilin yang besar. Umar bertanya kepada utusan tersebut tentang keadaan penduduk kota, dan kaum muslimin di sana, bagaimana perilaku gubernur, bagaimana harga-harga, bagaimana dengan anak-anak, orang-orang muhajirin dan anshar, para ibnu sabil, orang-orang miskin. Apakah hak mereka sudah ditunaikan?Apakah ada yang mengadukan?
Utusan itu pun menyampaikan segala yang diketahuinya tentang kota kepada Umar bin Abdul aziz.
Tak ada sesuatu pun yang disembunyikannya. Semua pertanyaan Umar dijawab lengkap oleh utusan itu. Ketika Semua pertanyaan Umar telah selesai dijawab semua, utusan itu balik bertanya kepada Umar.

?Ya Amirul Mukminin, bagaimana keadaanmu, dirimu, dan badanmu? Bagaimana keluargamu, seluruh pegawai dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabmu? Umar pun kemudian dengan serta merta meniup lilin tersebut dan berkata, ?Wahai pelayan, nyalakan lampunya!? Lalu dinyalakannlah sebuah lampu kecil yang hampir-hampir tidak bisa menerangi ruangan karena cahayanya yang teramat kecil.

Umar melanjutkan perkataanya, ?Sekarang bertanyalah apa yang kamu inginkan." Utusan itu bertanya tentang keadaannya. 
Umar memberitahukan tentang keadaan dirinya, anak-anaknya, istri, dan keluarganya. Rupanya utusan itu sangat tertarik dengan perbuatan yang telah dilakukan oleh Umar, mematikan lilin. Dia bertanya, ?Ya Amirul Mukminin, aku melihatmu melakukan sesuatu yang belum pernah Anda lakukan." Umar menimpali, ?Apa itu??
"Engkau mematikan lilin ketika aku menanyakan tentang keadaanmu dan keluargamu.?

Umar berkata, ?Wahai hamba Allah, lilin yang kumatikan itu adalah harta Allah, harta kaum muslimin. Ketika aku bertanya kepadamu tentang urusan mereka maka lilin itu dinyalakan demi kemaslahatan mereka. Begitu kamu memmebelokkan pembicaraan tentang keluarga dan keadaanku, maka aku pun mematikan lilin milik kaum muslimin."

Subhanallah, benar-benar mengagumkan! Segitu besar kesungguhan Umar dalam menjaga harta kaum muslimin, berbeda dengan mayoritas penguasa yang kita saksikan. (Sirah Umar bin abdul Aziz, Ibnul hakam hal. 155-156) Majalah Elfata.

Sabtu, 06 April 2013

Ar-Rosmaniyah

sebuah lembaga islam yang dibentuk pada tahun 2008 diatas sepetak arel Eks.RS.UPTB Lampur , dengan diawali perjuangan yang tidak sedikit , disaat tuntutan dahaga akan syari'at islam , kami awali perjuangan Yayasan Ar-Rosmaniyah .kemudian , kami membentuk kegiatan dalam bidang ekonomi , sosial , dan religi sebagai bentuk apresiasi kegiatan pemberdayaan dengan izin dan mengharap ridho Alloh kami berjuang dengan mengharap kemaslahatan fiddin waddunya wal akhiroh .

kini 6 tahun telah terlewat dan seiring waktu , program yayasan Ar - Rosmaniyah dengan anak lembaga berupa Madrasah Diniyah dan Pondok Pesantren mulai menggeliat .Dengan dukungan 6 tenaga pengajar dan seorang hafidz kami menjalani kegiatan belajar .Di sini (daerah Bangka ) sungguh merupakan daerah subur untuk menanam ilmu dan amal , mengingat masih banyak muslimin di Bangka yang buta Al - Qur'an . Dengan sasaran semua element lapiran masyarakat tanpa memandang usia , kami berusaha sebaik mungkin untuk belajar - belajar dan belajar .kami sadar kiranya langkah awal kami dalam meniti ridho Ilaahi beluam ada apa-apanya dibanding dengan perjuangan Pondok Pesantren yang lebih dahulu .

Dengan personil guru pengajar yang notabennya alumni Pondok Salafiy dan Tenaga pendidik umum , kami membawa mata pelajaran Fiqih , Akidah Akhlaq , Lughotul Arobiyyah , Nahwu Shorof serta Al - Qur'an Hadis dengan salah satu guru yang Hafidz Qur'an . Untuk memajukan santri dalam bidang pendidikan umum , Pondok Pesantren / Madrasah Diniyah Ar  Rosmaniyah mengadakan ekstra kurikuler Bahasa Inggris dan pembelajaran TIK dimulai dengan Program Microsoft Office yang diperkenalkan per Januari 2013 . tidak lain dan tidak bukan semata program - program dalam Pondok Pesantren / Madrasah Diniyah Ar - Rosmaniyah bertujuan mencetak anak didik menjadi kader pemuda yang mumpuni dan berakhlaq mulia .

Bagi sebagian pembaca mungkin tuisan sekapur sirih ini tidak ada apa - apanya,namun tak henti kami (pen ) akan selalu berusaha untuk lebih baik , 

kiranya kami tulis sekapur sirih pofil pondok pesantren Ar-Rosmaaniyah ini untuk menyambung tali Ukuwah Islamiyah .

nb.maaf bahasa masih belum gelepotan , harap maklum , masih postingan pertama................